Essay Tentang Utang Negara
“Mekanisme Pengendalian Rasio Utang
Terhadap PDB yang
Andal untuk
Kesinambungan Fiskal”
Karya : Hijrah Anggraini Nashuha (DI Pajak 1-41)
Saat
ini Indonesia Indonesia sedang gencar-gencarnya memperoleh pendapatan Negara
dari perpajakan. Bahkan beberapa waktu lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan
Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) demi mencapai target pajak yang tentunya akan
menambah pendapatan Negara. Dan hasilnya memang cukup memuaskan pendapatan
Negara dari pajak meningkat, namun tetap tak mencukupi keperluan untuk belanja
Negara, sehingga utang menjadi solusi menutupi kekurangan tersebut.
Utang
Indonesia dari tahun ke tahun selalu meningkat jumlahnya, entah itu utang dalam
negeri maupun luar negeri. Apalagi di masa pemerintahan Presidon Joko Widodo, dengan
program infrastruktur yang ekspansif tentunya membutuhkan banyak dana untuk
membangun itu semua. Dari segi APBN pun pendapatan selalu lebih rendah dari
belanja, sehingga untuk menutupi kekurangan tersebut diperlukan pembiayaan atau
dengan kata lain berutang, entah dalam negeri berupa mengeluarkan surat-surat
berharga maupun berutang kepada negera lain.
Dilansir
dari https://economy.okezone.com jumlah utang pemerintah pusat bulan Agustus 2017
mencapai 3.825,79 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar
3.087,95 triliun (80,7%) dan pinjaman luar negeri sebesar 737,85 triliun
(19,3%).
Semenjak
masa pemerintahan Presiden Joko widodo, memang lebih dari 1.000 triliun
Indonesia berutang, entah dalam negeri maupun luar negeri. Hal itu tentunya
membuat gonjang-ganjing bagi masyarakat umum yang hanya tahu bahwa utang
Indonesia semakin membengkak saja jumlahnya dari tahun ke tahun. Bahkan,
beberapa waktu lalu tak sedikit yang melakukan aksi demo anti utang, akibat
besarnya jumlah utang Indonesia yang digonjang-ganjingkan dalam keadaan krisis
utang.
Terlepas
dari itu semua, sebenarnya jumlah utang masih dalam posisi aman, dan defisit
anggaran terhadap PDB pun masih di jaga di bawah 3%. Dalam APBN pun masih menjalankan amanat yang
diberikan oleh UUD 1945 yaitu tetap memberikan prioritas anggaran pendidikan
dan kesehatan masing-masing sebesar 20% dan 5% dari total APBN. Selain itu
rasio utang Indonesia sekitar 28% terhadap PDB. Angka tersebut masih jauh di
bawah batas maksimum dalam ketentuan undang-undang yaitu 60% dari PDB. Melalui
pengendalian defisit anggaran terhadap PDB, pengendalian rasio utang terhadap
PDB, penurunan net penambahan utang dan pengendalian keseimbangan primer
merupakan upaya-upaya yang dilakukan pemerinta untuk menjaga kesinambungan
fiskal.
Tak
dapat dipungkiri bahwa infrastruktur indonesia sangat jauh tertinggal dengan
Negara lain. Semenjak krisis ekonomi dan
moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998-1999, Indonesia memfokuskan
untuk perbaikan ekonomi dengan memberikan subsid-subsidi dan kebijakan lain,
sehingga mengesampingkan infrastruktur Negara. Untuk itu tak heran, jika
infrastruktur Indonesia sangat jauh tertinggal dengan Negara lain.
Semenjak
masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia mulai berbenah terhadap
infrastruktur, membangun bangsa ini tentu bukan hal yang mudah dan membutuhkan
banyak dana untuk mewujudkannya. Karena itulah perlukan pembiayaan atau dengan
nama lain utang. Dari sekian banyak utang tersebut, bahkan pada masa
pemerintahan Presiden Joko Widodo bertambah lebih dari 1.000 triliun, utang
tersebut digunakan untuk pembiayaan pembangunan yang ekspansif.
Negara
sama halnya dengan rumah tangga, dimana terkadang pendapatan lebih rendah dari
kebutuhan dan mengharuskan berutang. Sama pula ketika sebuah keluarga hendak
memulai usaha dan tidak memiliki modal yang cukup berutang adalah solusinya.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia, utang Indonesia mungkin besar jumlahnya,
dan pada masa pemerintahan Presiden juga berutang cukup banyak. Namun semua itu
semata-mata untuk modal usaha. Usaha untuk membangun Indonesia, dengan
membangun jalan told an sebagainya, yang suatu saat modal itu akan kembali
bersama dengan keuntungunnya. Bagi Negara, bangsa bahkan juga masyarakat yang
merasakan keuntungan tersebut secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk
mengendalikan utang tersebut agar tetap aman dan terkendali, tentunya utang
tersebut harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian. Dimana penggunaan utang
tersebut benar-benar diperhatikan penggunaannya yang bermanfaat dan ada timbal
balik di kemudian hari yang menguntungkan bagi Indonesia. Utang untuk usaha
jika dikelola dengan balik, maka pada saat jatuh tempo utang itu akan lunas dan
hasil dari usaha masih terus mengalir, berbeda jika utang digunakan untuk
konsumsi, utang habis saat jatuh tempo tak sanggup untuk mengembalikan dan tak
ada hasil apapun dari kegiatan berutang tersebut.
Dengan
adanya kegiatan yang produktif (membangun infrastruktur) utang Negara dapat
dibayar melalui mekanisme Bilateral Public Debt, teruatama untuk utang luar
negeri. Dimana kreditor (pemberi pinjaman) membatalkan hutang kepada
debitor(yang meminjam) untuk menyisihkan dana untuk tujuan yang disepakati
bersama. Misalnya ketika hasil dari pembangunan ini menghasilkan suatu produk
yang berpontensi untuk menambah sumber pendapatan Negara. Maka pemerintah dapat
menyisihkan dana dari dari kegiatan tersebut untuk memenuhi kesepatan bersama
yang nantinya akan menghapus utang Indonesia terhadap kreditor. Kesepakatan
bersama ini bisa meliputi bidang pelestarian lingkungan, sosial, pendidikan dan
tujuan lainnya.
Mekanisme
Pengendalian dilakukan pemerintah dengan prinsip prudent (kehati-hatian) dan
mempertimbangan kemampuan pemerintah untuk membayar kewajiban tersebut.
Sehingga utang tersebut tidak semakin membengkak, dan utang tersebut digunakan
untuk kegiatan yang produktif berdampak baik bagi Negara dalam jangka panjang,
yang hasilnya akan kita rasakan beberapa tahun ke depan. Untuk itu, sebagai
warga negara, alangkah lebih baik jika kita mengetahui duduk masalah sebelum
bertindak dan mendukung program-program pemerintah yang bermanfaat bagi
masyarakat.
Tangerang
Selatan, 13 Oktober 2017
Comments
Post a Comment