cerpen: Gerbong 2
Gerbong
2
Oleh
: Hijrah Anggraini Nashuha
“Hati-hati , kalau sudah di sana nanti kabari
orang rumah,” pesan bapak padaku. Air mata mengenang di sudut matanya, kucium
takzim tangan bapak, entah berapa lama lagi aku dapat mencium tangan beliau.
Dengan
langkah berat aku menuju tempat antrean pengecekan ID dan tiket keberangkatan,
kulihat bapak masih berdiri sana. Menatapku seolah tak rela melepas anak
gadisnya pergi seorang diri di kota seberang. Tiba giliranku kutunjukkan KTP
dan tiket yang sudah kucetak sebelumnya.
“Silakan
tunggu sebentar di waiting room, kereta akan tiba dalam setengah sampai satu
jam,” kata petugas dengan ramah.
“Baik,”
jawabku singkat.
Kulihat
bapak melambaikan tangan, kemudian berbalik menuju motor butut tuanya dan
pulang ke rumah. Aku hanya bisa memandangnya kala itu. tak terasa air mata telah menetes, segera
kuhapus serampangan, masih punya malu untuk menangis di muka umum.
Kulihat
sekeliling, tak hanya aku seorang diri di sini. Banyak orang yang memenuhi
ruang tunggu Stasiun Sragen. Banyak dari mereka yang memboyong sekeluarga
dengan bawaan bertas-tas dan masih membawa sekarung beras, tipikal orang yang
hendak pergi untuk menetap. Ada juga yang duduk seorang diri dengan hanya
membawa tas kecil, tipikal orang bisnis yang biasa bepergian. Bawaanku sendiri
cukup banyak koper besar yang berisi baju-bau, tas gendong, dan masih membawa
dua tas tenteng kecil berisi makanan dan keperluan di dalam kereta. Sementara
tas gendongku berisi berkas-berkas penting dan laptop usang tempatku mencurahkan
rasa dalam tulisan.
Untuk
pertama kalinya, aku bepergian menggunakan kereta dan seorang diri, memberanikan
diri untuk merintis masa depan di ibu kota Jakarta. Kulihat jam menunjukkan
pukul 16.50 sementara kereta kelas ekonomi yang akan membawaku ke Jakarta jika
sesuai jadwal dalam tiket akan tiba pukul 17.37 di Stasiun Sragen. Sambil
menunggu aku membuka beranda facebook, membaca status teman-teman yang sebagian
besar hanya kukenal di dunia maya. Lama aku bermain facebook hingga bosan
rasanya, tapi waktu hanya bertambah beberapa menit saja. Sementara antrean
pengecekan ID dan tiket mulai berkurang, hanya satu dua orang yang mungkin bisa
dibilang datang tepat waktu.
Dalam
pikiranku, aku mulai meragukan keputusanku saat ini. Keputusan yang cukup kupaksakan
kepada orang tuaku di saat keadaan ekonomi yang tak baik. Ah, sesungguhnya
memang tak pernah baik kondisi keuangan kami. Egoiskah aku? Aku hanya ingin
melanjutkan kuliah.
April
2017 aku lulus SMK, 1 September 2017 kini aku di Stasiun Sragen menanti kereta
ekonomi untuk pertama kalinya dalam hidupku. Bersama keputusan besar yang
semoga tak kusesalkan suatu hari nanti, dan member perubahan berarti dalam
hidup ini.
TEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTT
Semua
penumpang segera berdiri dan menuju pinggiran rel kereta, begitupun diriku.
Meski sedikit kepayahan dengan bawaanku yang tak bisa dibilang sedikit. Tampat
kereta melaju dari arah timur dan perlahan berhenti di Stasiun Sragen. Segera
kucari tempat dudukku, gerbong 2 nomor
11A. Cukup beruntung ternyata aku duduk di pojok dekat jendela, meski satu
bangku berisi 3 orang. Ah, namanya kelas ekonomi.
Kulihat
sekeliling kereta ini cukup penuh mungkin di stasiun berikutnya akan ada
penumpang yang naik lagi sementara bagasi atas untuk tempat tas hanya tersisa sedikit
ruang. Bagiku kereta ekonomi cukup baik, dengan adanya AC dan
pramugari-pramugara kereta, walau kenyataannya aku belum pernah naik kereta
kelas bisnis ataupun eksekutif. Esok hari mungkin badan akan pegal, secara
dalam tiket tertera bahwa pukul 03.50 akan sampai di Stasiun Pasar Senen di
Jakarta. Yang itu berarti lebih dari 10 jam aku akan di dalam kereta, dengan
akses gerak yang tak banyak.
“permisi
saya mau duduk,” ucapku kepada penumpang lain ketika menemukan kursi 11A.
Tanpa
kata mereka memiringkan kaki agar aku bisa lewat, secara tempatku berada di
pojokan. Kutaruh koperku di atas, sementara tas gendong dan lainnya kutaruh di
bawah kursi sebab di atas tak ada ruang lagi.
Aku
duduk di pojok dekat jendela, sementara sebelahku dua orang laki-laki yang
cukup dewasa tapi belum terlalu tua, keduanya tampak memosisikan diri untuk
tidur kembali setelah terbangun karena kehadiranku. Sementara di depanku ada
seorang perempuan anak kuliahan sepertinya, sedang sibuk dengan gadgetnya. Di sebelah perempuan itu ada sepasang suami
istri yang bisa dibilang lanjut usia, menatapku sejak aku bertanya tentang
kursiku hingga aku duduk saat ini.
TEEEEETTTTT
Kereta
melaju kembali , meninggalkan kenangan selama 18 tahun aku hidup di kota
tercinta. Yang tiba-tiba terasa sendu saat aku mulai pergi. Seepertinya sebuah
pepatah memang benar, sesuatu akan begitu berharga ketika kita kehilangannya.
“Turun
mana mba?” tanya ibu yang duduk paling ujung.
“Stasiun
pasar senen, Bu,” jawabku.
“Mau
kerja apa kuliah,” tanyanya lagi.
“Kuliah,”
jawabku singkat.
“D3
apa S1 Nduk?” tanya Suami ibu tersebut. lama aku terdiam, sampai perempuan di
depanku turut menanti jawabanku.
“D1,
Pak” jawabku malu-lalu.
“Lahh..
eman-eman sekolah cuma D1, wong yang sekolah S1 saja masih banyak
yang nganggur apalagi D1,” balas bapak tersebut spontan.
Ah,
aku tertegun sejenak, benar juga tak
terhitung lulusan S1 setiap tahunnya yang harus menganggur atau bekerja tidak
sesuai dengan latar belakang pendidikan, bahkan mungkin harus rela bekerja
meski tak sebanding dengan gelarnya. Tapi bukankah hidup memang begitu,
kenyataan tak selalu sama dengaan yang diharapkan, lalu salahkah aku mencoba
untuk menata masa depan meski gelap di depan sana.
“Ya,
tidak apa-apa Pak, D1 dulu … nanti kalau ada uang baru lanjut kuliah. Lagian
saya kuliah di tempat yang nantinya setelah lulus diberi pekerjaan, jadi nggak
perlu nyari,” balasku.
“Kalau sudah dicarikan pekerjaan kayak gitu ya
enak,” balas bapak tersebut kemudian.
‘Memang
enak, tapi harus mengorbankan cita-citaku yang lain, sebab masa depan telah
dirancang sebagai pegawai,” jawabku dalam hati. Tapi, sudahlah … semoga ini
yang terbaik.
“Iya
Nduk, kuliah yang pinter biar nanti kalau sudah lulus dapet kerjaan yang enak,”
doanya.
“Amiin
… ibu sama bapak ini mau ke Jakarta juga?” tanyaku balik.
“Iya,
kangen sama cucu, anak ibu kan udah pada berkeluarga semua. Di desa tinggal
Bapak sama Ibu. Pada sibuk sama kerjaan masing-masing. Ya jadi gini, kita yang
main ke Jakarta,” jawab ibu tersebut dengan raut wajah yang tak bisa kubaca
entah sedih atau senang.
“Anak-anakku
dulu juga tak kuliahkan Nduk, meski makan seadanya yang penting mereka jadi
orang sukses, orang tua itu ya cuma satu keinginannya, pingin lihat
anak-anaknya bahagia dan sukses,” lanjut ibu tersebut dengan semangat.
Dan
aku hanya bisa membalas dengan senyuman, mengingat pengorbanan ayah ibu yang
tetap menuruti keinginanku untuk kuliah, yah, meski hanya setahun. Tapi semoga
bisa menjadi batu loncatan meraih kesuksesan.
Kami
terdiam beberapa waktu, hanya hilir mudik pramugari yang menjajakan makanan dan
minuman, juga beberapa celoteh dari penumpang lain yang belum tidur. Kereta
terus melaju, di luar sana semua tampak gelap, sama seperti masa depan yang tak
bisa kulihat dengan jelas.
Kantukku
datang, malam pun semakin larut, esok adalah hari baru di tempat baru. Semoga
dimanapun itu Tuhan selalu bersamaku.
Sragen,
15 Januari 2019
karya 3 tahun lalu. setelah dibaca lagi kok nyes ya wkwk. sepertinya ini salah satu karya terbaikku, barangkali karena ini sebenarnya hanya curhat yang dibalut jadi cerpen singkat, atau kutulis dengan hati terdalam ahaha. kalau sekarang disuruh nulis lagi kok rasanya no hope ya. ambil positifnya, buang jelek-jeleknya. semangat semuaa hehe
Comments
Post a Comment