cerpen "ketika aku harus memilih

Saat aku harus memilih

hidup itu adalah pilihan. Ada kalanya kita harus memilih antara dua hal yang kita tidak ingin melepaskan salah satunya. Tetapi kita harus tetap melepaskannya. Dan itulah yang saat ini sedang kualami. Dimana aku harus memlilih antara cinta dan uang. Hal itu rasanya sungguh bimbang dan membuatku dilema.
Semua itu bermula saat tiba-tiba ada seseorang yang memintaku menjadi istrinya. Dia adalah temanku semasa SMA namanya Doni. Aku tidak tahu apa yang membuatnya memintaku untuk menjadi istrinya. Aku tidaklah cantik dan pintar, aku hanya wanita biasa. Saat kutanyakan alasannya, dia menjawab cukup sederhana "karena kamu apa adanya" itulah yang ia katakan. Jujur aku merasa tersanjung bagaimana tidak cowok ganteng dan kaya minta aku buat jadi istrinya. Umur kami tidak terlalu jauh umurku 23 tahun dan sedang bekerja di sebuah perusahaan. Sementara ia 24 tahun dan sudah memimpin perusahaan ayahnya.
Di sisi lain aku sudah memiliki pacar dan kami sudah berpacaran hampir 2 tahun. Tapi tak pernah sekalipun ia menyinggung tentang sebuah pernikahan. Namanya Didik ia romantis dan selalu membuatku tersenyum. Ia seorang pengangguran, maksudku ialah sedang dalam proses mendapatkan kerja. Ia lulusan sarjana hukumhnya saja ia tak mau bekerja jika bukan dibidangnya. Karena itu ia masih menganggur. Aku sering berkata padanya untuk mencari pekerjaan yang lain. Tapi ia tak pernah mendengarkan. Ia bukanlah orang kaya seperti Doni tapi aku tetap mencintainya.
Sejak itu aku menjadi dekat dengan Doni tapi aku belum menjawab pertanyaannya. Akupun juga tidak mencintainya. Hanya saja untuk menolak cowok baik seperti Doni sulit bagiku. Cintaku tetap pada Didikku tercinta. Dan itu berlangsung selama beberapa bulan. Awalnya aku biasa saja hingga suatu malam aku bermimpi menikah dengan Didik. Sebuah pernikahan yang sederhana dan jauh dari kata mewah. Lalu mimpi itu berlanjut saat kami memiliki anak, di sebuah rumah yang sempit anak kami menangis karena tidak minum susu. Karena mimpi itu aku terbangun pukul 02.00 pagi dengan nafas terengah-engah. Aku tidak bisa tidur lagi sampai matahari terbit. Mimpi itu menghantuiku dan berbagai pertanyaan muncul di benakku. Jika aku menikah dengan Doni aku bisa menikah dengan mewah? Aku punya banyak uang? Punya rumah dan mbil yang mewah? Dan anak kami akan tumbuh dengan sehat? Pikiran- pikiran tersebut selalu terbayang. hidup sekarang susah, tidak mungkin hanya mengandalkan cinta untuk menjalin hubungan rumah tangga, apalagi Doni merupakan cowok yang baik. Lalu bagaimana dengan perasaanku? Apakah aku bisa mencintai Doni jika aku menikah dengannya? Berhari- hari aku berfikir tapi tak kutemukan jawabannya.
Hari ini Doni mengajakku makan di restoran. Tentu saja aku mau mumpung ada yang mau traktir. Apalagi Didik tidak pernah mengajakku ke restoran. Segera saja aku berias diri dan memilih baju yang bagus. Untuk sejenak aku melupakan mimpiku itu. Tak selang lama Doni telah sampai di depan rumah dengan mobilnya. Segera saja aku keluar dan masuk mobil, kamipun melesat menuju restoran yang dituju. Di dalam mobil kami saling bercerita dan tertawa bersama. Ada perasaan nyaman saat aku bersamanya. Setelah sampai kami segara masuk dan memesan makanan. Setalah makanan itu sampai kami segara memakannya, tentu saja aku makan dengan anggun meski sebenarnya aku sungguh kelaparan karena tadi siang aku tidak makan.nuansa dalam restorn ini terkesan romantis. "shinta...." tiba- tiba Doni memanggilku. "apa?" jawabku. "ehmm.... Aku ingin kamu menjawab pertanyaanku waktu itu" kata Doni. "pertanyaan yang mana?" jawabku pura- pura tak tahu. "saat aku bertanya padamu, maukah kamu menjadi istriku?" kara Doni mantap. "aku... Aku.. Tidak bisa menjawabnya sekarang tolong beri aku waktu". Kulihat Doni menunduk mungkin ia kecewa dengan jawabanku. "baiklah tak apa-apa tak perlu buru-buru" katanya sambil tersenyum. Aku sedikit lega ia tak marah padaku, setidaknya untuk saat ini. Setelah itu kami pulang, ia mengantarkanku sampai rumah. Selama perjalanan kami hanya saling diam, berkutat dengan pikiran masing- masing. Rasanya perjalanan pulang begitu lama karena kami saling diam, biasanya ia akan bertanya ini itu padaku. Aku juga tidak berani untuk bertanya terlebih dahulu padanya. Akhirnya kami sampai di rumah, aku segera turun dari mbil dan mengucapkan terima kasih pada Doni. Ia pergi, aku melambaikan tangan padanya.
Esok harinya seperti biasa aku bekerja. Sepulang bekerja aku ke rumah Didik. Ia sedang bermain game dengan laptopnya. Itu kebiasaannya dan aku sering diduakan kalau dia sudah main game. Iseng saja aku bertanya padanya "sayang, kapan kita nikah?". Dia langsung berhenti bermain game dan mengalihkan perhatiannya ke arahku. "kenapa bertanya seperti itu? Kamu nggak tahu keadaaan aku?buat makan aja susah apalagi buat nikah" kata Didik marah. "aku hanya ingin tahu, kita udah lama pacaran, tapi kamu nggak pernah menyingung soal pernikahan, aku hanya ingin memastikan kalau kamu itu serius sama hibungan kita" jawabku. "oh, jadi kamu meragukan cintaku sama kamu? Asal kamu tahu aku cinta sama kamu dan aku mau nikah sama kamu tapi nggak sekarang!" jawab Didik masih emosi. "tapi kapan?" tanyaku. "saat aku sudah menjadi orang yang sukses, setidaknya aku mendapatkanpekerjaan yang aku inginkan" jawab Didik. "kapan kamu jadi orang sukses, kalau kamu cuma diam di rumah sambil main game. Dan kamu nggak mau pekerjaan selain yang kamu inginkan" kataku mulai emosi. Aku segera pergi dari rumah Didik tak ingin pertengkaran ini semakin berlanjut.
Aku segera pulang dan menangis sesenggukan di kamar. Hingga aku tertidur. Tiba-tiba dering telepon membangunkanku, segera saja kuangkat. Ternyata Didik yang meneleponku. Ia meminta maaf atas kejadian tadi sore. Jujur aku masih marah tapi karena cintaku padanya aku memaafkannya. Setelah itu kami bercakap- cakap di telepon cukup lama. Hingga kami mengakhiri telepon itu dengan sebuah senyuman. Kulanjutkan tidurku sampai pagi menyingsing kujalani aktivitasku kembali. Rutinitas yang tak pernah bisa kuhindari bekerja.
Saat aku bekerja dering telepon menggangguku. Segera saja kuangkat ternyata itu dari Doni ia mengajakku jalan- jalan sepulang kerja. Kerana aku tidak ada acara setelah kerja aku iyakan saja. Sorepun tiba Doni menjemputku dan kami pergi ke taman, tak kusangka ternyata Didik ada di sana dengan teman-temanya. Ia melihatku ke arah aku dan Doni, dan ia langsung pergi. Rasanya aku seperti tertangkap basah sedang selingkuh padahal sesungguhnya tidak. Aku pergi begitu saja mengejar Didik tanpa menghiraukan Doni yang tak mengerti apapun tentang hubunganku dengan Didik. Karena setahunya aku masih single.
"Didik tunggu, aku tidak ada hubungan apaun dengan Doni kami hanya berteman, sungguh percayalah padaku" pintaku padanya. Ia berhenti berjalan dan menghadap padaku. ia menatapku kecewa, "karena itukah kamu bertanya tentang pernikahan padaku? Karena Cowok kaya itu meminta kamu menikah dengannya? Dan kamu hendak meninggalkanku hanya untuk dia, kamu lupakan cinta kita hanya untuk uang, harta? Benarkah?" kata Didik. " memang benar ia memintaku menikah dengannya, tapi aku tidak pernah melupakan cinta kita, dan aku tidak ingin menikah hanya karena uang semata" jawabku meneteskan air mata. " nggak usah nangis, kamu nangis nggak bakal menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kamu pilih aku atau dia" kata Didik. "ak... Aku tidak bisa memilih kalian." kataku pelan. "kau bilang kau mencintaiku tapi kenapa kau tidak bisa memilih antara aku dan dia, apa sudah tak mencintaiku lagi? Atau kau tak bisa melepaskannya karena dia kaya?" kata Didik tajam. "aku masih mencintai kamu......". "berarti kamu tidak bisa melepaskannya karena dia kaya" belum selesai aku bicara Didik memotong pembicaraanku. Ucapannya tepat dengan apa yang kurasakan. Setelah itu ia pergi meninggalkannku.Aku hanya diam di tempatku berdiri. Memandanginya yang pergi menjauh dariku.
Aku pulang ke rumah menuju ke kamar. Aku merebahkan diriku smabil memandang langit kamar. Haruskah aku menjauhi Doni cowok kaya yang peduli padaku. Meski aku tak mencintainya, tapi jika aku bersamanya hidupku pasti terjamin. Atau aku memilih Didik , aku memang mencintainya tapi jika ia terlalu pemilih dalam bekerja, apakah ia akan menjadi sukses tentu saja tidak. Aku pusing memikirkan semuanya. Sejak awal aku tahu aku harus memilih salah satu tapi tidak bisakah aku memliki keduanya aku memiliki banyak uang dan aku bisa bersama cintaku.

Kutulis kisahku ini dalam sebuah cerpen dan kuunggah di blog pribadiku. Tapi cerita itu belum selesai berhenti tepat saat aku bingung harus memilih yang mana. Banyak yang berkomentar untuk memilih Doni karena ia orang yang baik dan dan juga kaya, cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Komentar ini kebanyakan dari mereka yang berpikir logis dalam kehidupan. Tapi tak sedikit yang memilih Didik alasannya uang bisa dicari tapi cinta sejati takkan ada duanya. Semua komentar itu memang tidak salah tapi mereka tak tahu berkomentar tak semudah untuk menjalankanya.
setelah kejadian di taman itu Doni tak pernah menghubungiku. Lebih dari seminggu kami tak bertemu. Aku putuskan untuk meneleponnya. Iapun mengangkatnya. Aku mengajak ia untuk bertemu untuk menyelesaikan masalah ini. Kami bertemu di sebuah rumah makan. Aku tak tahu apa ia biasa makan di rumah makan kecil seperti ini. Aku menunggunya hampir 10 menit tak biasanya ia terlambat. Doni akhirnya datang ia terlihat lebih kurus dari terakhir kami bertemu. "Hai..." kataku setelah ia duduk. Ia tak membalas sapaanku . "langsung saja, kau ingin bicara apa? " katanya dingin. "ada apa denganmu kenapa kamu jadi kayak gini?" tanyaku. " cepat katakan atau aku pergi" katanya tanpa menjawab pertanyaaanku. " aku tidak tahu kalau kamu sudah memilik pacar karena itu aku memintamu untuk jadi istriku, tapi sekarang itu tdiak penting lagi" kata Doni. "aku mau menikah sama kamu" kataku tanpa memperdulikan ucapannya. 
"kenapa kamu mau meniakh, karena aku kaya dan punya banyak uang?" tanya Doni. "iya" jawabku mantap. "apa kamu cewek matre?" tanya Doni lagi. "ya, aku emang matre, kenapa kamu sekarang nggak mau nikah sama aku, karena aku matre? Tanyaku berkaca- kaca. Kulihat Doni hanya diam. Aku segera pergi dari tempat itu tak mau airmataku tumpah di sana. Aku berjalan keluar sambil menangis, aku tak peduli pada tatapan setiap orang yang melihatku. Tiba- tiba saja kurasakan ada seseorang yang memelukku. "kita menikah"katanya yang ternyata Doni. Ia melepas pelukannya dan menghadapkanku padanya. Ia menghaups airmataku. "aku tahu kau tidaklah matre, kau hanya berpikir logis untuk menikah denganku, aku tahu kau tidak mencintaiku tapi percayalahaku akan berusaha untuk itu" ucapnya lagi. Ia kembail memelukku.
Sebelum aku bertemu dengan Doni, aku menemui Didik di rumahnya. Seperti biasa kulihat ia sedang bermain game seolah-olah tak terjadi apa-apa. Ia mendongak ke arahku. "kau sudah memutuskan?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. "lalu apa jawabanmu?" tanyanya lagi. " aku ingin menikah dengannya"kataku. "Apa kau masih mencintaiku?" tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk. "Lalu kenapa kau menikah dengannya, kau mencintainya?" tanyanya lagi. "tidak" jawabku bersuara. "lalu kenapa?" tanyanya lagi. "aku hanya ingin hidup dengan baik dan berkecukupan dan aku tak mungkin mendapatkan itu darimu, aku memang tidak mencintainya tapi aku bisa bahagia dengannya" kataku. " jadi kau lebih memilih uang? Tanyanya lagi. " aku tak memilih uang aku hanya berpikir logis, jika aku bisa mendapatkan dua-duanya aku takkan memilih, tapi keadaan memintaku untuk memilih, selama dua tahun kita pacaran kau tak pernah mau bekerja dan jika bekerja baru sebentar saja kau pasti keluar karena tidak sesuai dengan maumu. Jika kau ingin sesuai maumu maka jangan bekerja pada orang lain tapi buatlah pekerjaan sendiri tapi kau juga tak mau. Aku lelah dengan semua ini , aku memang mencintaimu, tapi kita tak bisa hidup hanya dengan cinta, maafkan aku" kataku. "jadi kita putus? Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kali?" kata Didik. Aku hanya mengangguk. Kamu berpelukan dan kamu saling menangis dalam diam. Ia melepaskan pelukannya dan memintaku pergi. Aku tahu ini tak mudah tapi aku harus kuat. Akupun pergi meninggalkan cintaku.
Kulanjutkan ceritaku dalam blog pribadiku. Ada yang mendukung dan ada pula yang merasa kecewa dengan keputusanku. Tapi aku telah memutuskan jalan hidupku. Setiap orang memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya dan inilah pilihanku. Jika orang lain memilih hal yang berbeda dariku itu hak mereka.
SELESAI

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com


Comments

Popular posts from this blog

ARTIKEL BADMINTON/BULU TANGKIS DALAM BAHASA INGGRIS DAN ARTINYA

CONTOH SOAL AKUNTANSI (transaksi)

contoh soal akuntansi buku besar pembantu