cerpen lomba semanis kopi hitam

Semanis Kopi Hitam.
Oleh : Hijrah Anggraini Nashuha

Kukira kopi itu pahit. Pada kenyataannya memang pahit. Tapi tak kusangka, ternyata kopi tak sepahit kelihatannya.
Restoran seberang jalan adalah tujuanku. Sesosok pria nampak jenuh di sana. Menunggu seseorang, dan itu diriku. Kuedarkan pandanganku ke kiri dan ke kanan. Merasa aman untuk menyeberang. Kulangkahkan kaki, sampai kini aku ada di hadapannya. Senyum manis kusuguhkan.
"Maaf, aku terlambat!" ujarku.
"Hanya maaf saja!" balasnya sinis.
"Lalu?"
"Sudahlah, lupakan! Silakan duduk," ujarnya mengalah.
Aku segera duduk sesuai ucapannya. Kulirik di meja ada secangkir kopi hitam masih penuh dan mengepul.
"Kurasa kamu belum lama!" tebakku.
"Kenapa begitu?"
"Tuh!" jawabku sambil melirik kopi pesannya.
"Lupakan kopi, dan masalah waktu! Kita harus bicara tentang hubungan kita Sri!" ujarnya serius.
"Memang kenapa? Kita baik-baik saja kan?" balasku.
"Baik seperti apa? Hubungan kita hambar. Tanpa rasa tanpa cinta. Bahkan lebih baik kopi yang terasa pahit, namun tidak untuk hubungan kita," ungkap Rafli padaku.
"Tapi aku..."
"Aku mau putus!" ucapnya sepihak tanpa peduli padaku. Bahkan ia langsung pergi tanpa mendengar apapun dariku. "Aku... Apa aku seburuk itu?" gumamku sendiri dengan derai air mata.
Secangkir kopi itu masih mengepul.Kopi khas Indonesia, Sama seperti awal tadi kulihat, meski buram karena air mata.
***
"Ini, kopinya. Silakan menikmati," ucapku pada pelanggan pertama hari ini.
Laki-laki tersebut mengangguk, aku segera kembali ke belakang.
"Tunggu!" cegahnya. Aku segera kembali menghampirinya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.
"Duduklah!" titahnya bagai seorang raja.
"Maaf, saya pelayan di restoran ini. Lagi saya masih ada pekerjaan," jawabku mencoba menolak.
"Duduk!" ujarnya dengan nada mencekam.
"Ba... Baik!" balasku ketakutan.
Aku duduk di hadapannya. Entah apa maksud laki-laki ini aku tak tahu. Dia juga hanya diam sambil menyesap kopinya perlahan. Kulihat wajahnya, tidak terlalu buruk. Jika kulihat mungkin ia seorang pekerja kantoran, melihat style bajunyayang rapi dan berjas. Tapi mengapa di jam-jam pagi seperti ini ia ke restoran, ini bukan waktu istirahat maupun sarapan.
"Terima kasih, aku sudah selesai!" ujarnya berlalu pergi.
Kulihat setiap gerak-geriknya, sampai ia tak terlihat lagi. Kutengokkan pandanganku ke meja, kulihat kopi hitam pesannya telah tandas tersisa ampasnya saja.
"Hayo! Sri, siapa tuh?" goda Intan saat aku kembali ke belakang.
"Ish! Sudahlah, aku tak punya hubungan apapun dengan laki-laki manapun!" elakku.
"Apa belum move on dari laki-laki kurang bersyukur itu?" ujarnya gregetan.
Aku hanya mengendikkan bahu. Memang sulit bagiku untuk melupakan pria itu, apalagi kenangan indah yang masih saja kukenang. Ah! Aku baper lagi jika mengingat pria itu. Sial!
"Sri!" panggil Intan.
"Ya?"
"Maaf aku membuatmu..,"
"Sudahlah! Tidak apa-apa, aku mungkin belum bisa move on. Tapi setidaknya aku tidak berlaru-larut dengan kesedihanku kan?"
"Ohh...," balasnya sambil memelukku.
Tanpa sepengetahuan kami, bos kami sudah ada di depan pintu, menyilangkan kedua tangannya di depan dan berdehem untuk mengagetkan kami. Sontak kami segera melepaskan pelukan kami.
"Apa tempat ini ajang untuk melepas rindu?" tanyanya sarkatis.
"Maaf, pak!" balas kami berbarengan sambil menunduk.
"Lanjutkan pekerjaan kalian!" ujarnya tak terbantahkan.
"Baik," balas kami hampir bersamaan.
Aku dan Intan kembali bekerja seperti pelayan yang lain. Restoran tempatku bekerja memang tidak besar, hanya ada sekitar sepuluh pegawai termasuk juru masak.
"Hah! Lelahnya," keluhku saat petang tiba. Ketika restoran sudah tutup dan waktunya diriku untuk istirahat.
***
"Aku pulang dulu ya?" pamit teman-temanku.
Sudah jadi kebiasaan, pasti aku yang pulang terakhir. Aku segera mengunci pintu, setelah kupastikan semua aman. Menstarter motor matikku, motor pemberian ayahku yang selalu membantuku untuk pergi ke manapun. Segera pulang dan berkelana di alam mimpi.
Esok hari aku bekerja seperti biasa. Namun hal luar biasa terjadi. Pria yang kemarin memintaku menemaninya meminum kopi, kini ia melakukan hal yang sama dan di jam yang hampir bersamaan pula. Aku merasa heran tentang dirinya, bahkan namanya pun tak tahu.
"Maaf, kenapa saya harus menemani anda? Ada banyak pekerjaan di belakang," ujarku memberanikan diri. Namun semua sia-sia saja, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya itu. Hanya melirik sebentar kemudian melanjutkan aktivitasnya meminum kopi. Benar-benar kesal aku dibuatnya. Sama seperti hari sebelumnya, ia hanya mengucapkan terima kasih kemudian berlalu. Ada satu hal yang baik darinya, setidaknya ia tidak lupa mengatakan terima kasih. Ah! Pria aneh.
***
Esok harinya lagi pria itu meminta hal yang sama. Kopi hitam dan minta ditemani. Esoknya lagi dan lagi. Mungkin sudah seminggu ini ia selalu memberi hitam dalam putihnya hariku. Namun setelah seminggu itu tak lagi kulihat dirinya, tak lagi ia mengunjungi restoran tempatku bekerja. Tak ada rasa sedih, hanya merasa sedikit kehilangan. Saat apa yang biasa kulakukan, tiba-tiba hilang begitu saja.
"Woyy! Ngelamun aja!" ucap Intan mengagetiku.
"Ngelamun apa coba?" balasku.
"Si pria kopi hitam," ejeknya.
"Tck! Tidak!" elakku, meski memang benar adanya "sudahlah bekerja sana," lanjutku.
Hari-hari berlalu seperti biasa, aku juga bersikap biasa. Namun, saat kulihat tempat yang sering didudukinya, atau pelanggan lain yang memesan kopi aku teringat pada mereka. Ya, mereka! Dia yang telah mencampakkan diriku hanya karena hambarnya sebuah hubungan, dan dia yang hadir memberiku warna dalam singkatnya hari. Aku berusaha lupa, menyibukkan diri dengan kesibukan sebagai seorang pelayan. Suatu ketika ada pak pos yang datang ke rumahnya.
"Maaf mbak, ini ada surat buat Sri Handayani," ucapnya.
"Ya, saya sendiri, pak!" jawabku.
"Silakan tanda tangan di sini," ujarnya sambil memberikan selembar kertas dengan bolpennya. Aku menandatangani bukti penerimaan itu, sesuai yang dimintanya.
"Terima kasih, pak!" ucapku. Kemudian pak pos pergi dengan motornya.

Toraja, 10 Juni 2015
Dear Sri!

Bingungkah dirimu kala surat ini ada ditanganmu? Lebih bingung lagi kah dirimu saat kau baca surat ini? Jika iya, tolong bacalah sampai akhir. Sri, ingatkah saat kau diputuskan oleh kekasihmu di restoran itu? Inginkah kau tahu mengapa ia meninggalkanmu? Dia berselingkuh dengan pacarku. Sakitkah? Memang! Aku juga merasa hal yang sama. Aku tahu itu saat kuikuti dia setelah bermesraan dengan pacarku. Aku juga melihatmu tersedu di sana, berjam-jam kau di sana memandang secangkir kopi untuk menangisi bajingan sepertinya. Aku bersamamu kala itu, namun tak sanggup diriku untuk merengkuh tubuh ringkihmu kala itu.
Setelah itu, kucari tahu tentangmu. Ingatkah saat aku ke restoran dan memesan kopi juga dirimu. Kesalkah kau padaku? Maaf, aku hanya ingin kau tidak membenci kopi untuk semua yang terjadi padamu. Karena hidup memang tak semanis kopi yang ditambah gula, tapi tambahkan gula dalam kehidupanmu Sri. Bahagialah meski tanpanya. Jangan hidup seperti ini lagi, hidup dalam kebohongan dengan senyum palsu. Bagai gula buatan, tak akan semanis gula asli. Sri, bahagialah dalam hidupmu. Karena aku juga bahagia di sini, di dekat Tuhan. Aku ingin berbagi kisah padamu, sejujurnya pacarku selingkuh karena aku adalah pria penyakitan yang hidupnya hanya bergantung pada obat-obatan. Namun saat kau baca surat ini, itu berarti aku telah tiada.
Ingat! Bahagialah Sri!

Pria Kopi Hitam

air mataku tak terbendung lagi. Pria itu, oh! Aku sungguh tak menyangka hidupnya bahkan lebih pahit dariku. Aku kembali tersedu, seperti terakhir kali aku menangis saat kekasihku mencampakkanku. Namun aku berjanji untuk diriku sendiri, ini yang terakhir dan aku akan hidup bahagia. Hidupku tak semanis kopi. Namun aku bisa mengubahnya dengan pahitnya gula.

Srgen, Agustus 2016

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Comments

Popular posts from this blog

ARTIKEL BADMINTON/BULU TANGKIS DALAM BAHASA INGGRIS DAN ARTINYA

CONTOH SOAL AKUNTANSI (transaksi)

contoh soal akuntansi buku besar pembantu