Dampak Penerapan PPN 11%

 

Seperti yang kita ketahui bahwa per April 2022 tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%, yang kemudian akan naik bertahap menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025 seperti yang dimandatkan oleh UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kenaikan tarif ini tentunya akan membuat harga barang-barang secara umum akan naik, yang dibebankan kepada konsumen akhir. Tentunya kenaikan tarif ini sudah diperhitungkan secara matang oleh kementrian keuangan dan pemerintah. Kenaikan tarif tersebut merupakan salah solusi yang dapat dilakukan pemerintah untuk pemulihan ekonomi Indonesia setelah pandemi covid-19. Seperti kita tahu bahwa pada tahun 2020-2022 pemerintah jor-joran menggelontorkan triliunan rupiah untuk subsidi, bantuan sosial, dana prakerja, hingga insentif perpajakan untuk menopang ekonomi negara yang sempat ambruk dan tumbuh negatif pada tahun pada 2020 lalu. Sementara dari banyaknya belanja negara untuk kesejahteraan masyarakat tidak diimbangi dengan pendapatan negara yang seimbang, penerimaan pajak tahun 2020-2021 mengalami banyak penurunan, sementara pada tahun 2022 lalu target pajak bisa terlampaui 100% hal ini karena selain ekonomi sudah mulai pulih, juga didorong oleh kenaikan harga komoditas pada akhir tahun 2022 juga adanya program pengungkapan sukarela (PPS) dengan jumlah PPh yang disetorkan besar mencapai Rp 61,01 triliun.

Berdasarkan APBN Kita Bulan Mei 2023 capaian penerimaan Pajak sampai dengan bulan April 2023 sebesar Rp 688,15 triliun atau 40,05% dari target tahun 2023 sebesar Rp 1.718,0 Triliun tumbuh 21,29% yoy dan 94,50 triliun untuk Kepabeanan dan Cukai atau 31,17% dari targetnya sebesar Rp 303,2 triliun. Penerimaan pajak ditopang oleh PPh nonmigas sebesar Rp410,92 Triliun dan PPN/PPnBM sebesar Rp 239,98 triliun. Kontribusi keduanya terhadap total penerimaan pajak s.d. April 2023 masing-masing 59,71% dan 34,87%. Dari sisi PPN khususnya PPN Dalam Negeri mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dibanding dengan tahun lalu yaitu tumbuh 39,36% (yoy). Hal ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat cenderung tetap meskipun tarif PPN mengalami kenaikan, sehingga penerimaan PPN bagi pemerintah juga mengalami kenaikan. Target PPN &PPnBM tahun 2023 sebesar 742.95 triliun atau tumbuh 9,1% dari penerimaan tahun 2022. Berikut merupakan penerimaan dari PPN & PPnBM dari Tahun 2018-target 2023 sebagai berikut:

2018

 2019

 2020

 2021

 2022

 Target 2023

Rp537.267,90

Rp531.577,30

Rp450.328,06

Rp551.900,50

Rp680.741,30

Rp742.953,60

Sumber Data BPS dan UU APBN 2023

Dari data diatas dapat dilihat bahwa penerimaan PPN dan PPnBM mengalami kenaikan cukup signifikan tahun 2022 sejak diberlakukannya tarif PPN 11%. Lalu bagaimana dampaknya atas kenaikan tarif tersebut selama setahun terakhir ini?

 

Bagi Pemerintah

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendapatan negara banyak ditopang dari perpajakan. Baik itu bagi pendapatan daerah maupun pendapatan negara. Kenaikan pajak menandakan adanya kenaikan pendapatan masyarakat secara umum, yang berarti pendapatan perkapitanya juga naik, hal ini mengindikasikan juga pertumbuhan ekonomi juga cenderung naik. Bagi pemerintah tentunya kenaikan tarif PPN menambah pundi-pundi pendapatan negara dari sisi pajak. Hal ini juga membantu pemerintah dalam redistribusi pendapatan untuk kesejahteraan masyarakat secara umum melalui subsidi, bantuan sosial, layanan umum dan sebagainya. Pajak menjalankan fungsinya reguleren untuk membantu pertumbuhan ekonomi. Penerapan PPN 11% merupakan salah satu solusi yang dipilih oleh pemerintah dalam percepatan pemulihan ekonomi setelah pandemi covid-19.

Bagi PKP/Wajib Pajak

Sesuai dengan mandat UU HPP ada beberapa perubahan barang kena pajak, sehingga Wajib Pajak ada yang harus menyesuaian barang apa saja yang dijualnya yang menjadi kena PPN atau menjadi tidak kena PPN. Berdasarkan UU HPP barang yang dikecualikan dari objek PPN hanya makan minum dan emas untuk cadangan devisa. Sementara untuk bahan pokok makanan yang awalnya dikecualikan dari objek PPN, menjadi objek PPN yang dibebaskan sehingga perlu adanya penyesuaian bagi Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya baik secara administrasi dan pemungutan PPN bagi PKP. Contohnya, dahulu beras dikecualikan dari objek PPN, sehingga penjual beras (dalam skala besar) tidak diwajibkan untuk dikukuhkan PKP, namun karena setelah UU HPP beras merupakan Objek PPN yang dibebaskan, maka sebagai penjual wajib untuk mendaftaran diri sebagai PKP meskipun tidak ada pungutan PPN (karena dibebaskan). Selain itu juga masih banyak perubahan tentang objek kena pajak dan yang tidak kena pajak, sehingga banyak Wajib Pajak yang perlu menyesuaikan diri dengan peraturan terbaru ini jika tidak ingin kena sanksi berupa denda dan bunga.

Bagi Konsumen Akhir

Penulis sebagai konsumen akhir dari barang-barang yang dijual merasakan tidak ada perubahan signifikan yang dirasakan. Minat beli terhadap suatu barang masih tinggi sama seperti ketika tarif PPN 10%. Barangkali karena penulis hanya membeli barang-barang pokok dan harga yang bisa dibilang relatif murah/rendah sehingga kenaikan 1% ini tidak terasa. Mungkin lain hal dengan konsumen akhir yang membeli suatu barang dengan harga tinggi, kenaikan 1% ini cukup terasa.

Kesalahan Konsep Penerapan PPN 11%

Gambar Struk Pembelian di Restoran 6 Maret 2023

Selain hal tersebut juga perlu adanya sosialisasi yang lebih masif atas perbedaan PPN dengan Pajak Restoran atau PB1, meskipun hal ini tidak asing lagi. PPN dipungut oleh pemerintah Pusat dalam hal ini DJP, sementara PB1 dipungut oleh pemerintah daerah. Namun penulis pernah menjumpai ketika makan di salah satu restoran di Solo, Jawa Tengah menggunakan tarif 11% untuk PB1. Meskipun secara nominal bagi satu orang perbedaan 1% tersebut tidak cukup signifikan, namun tetap saja hal tersebut menyalahi aturan dan perlu disesuaikan. Apalagi penerapan tarif 11% ini sudah lebih dari setahun, sangat disayangkan masih ada beberapa restoran yang justru malah menggunakan tarif 11% ini untuk PB1 restoran. Padahal yang disetorkan kepada pemerintah daerah bisa jadi hanya 10% nya saja. 1% dikali omzet setahun ini jika ditotal cukup lumayan nominalnya. Karena itu perlu adanya sinkronisasi antara pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah dalam menegaskan aturan tersebut sehingga stabilitas ekonomi sama-sama baik dan sesuai dengan aturan berlaku.

 

Referensi:

APBN Kita Mei 2023

UU NOMOR 2STAHUN 2022 tentang APBN 2023

Data BPS

Comments

Popular posts from this blog

ARTIKEL BADMINTON/BULU TANGKIS DALAM BAHASA INGGRIS DAN ARTINYA

CONTOH SOAL AKUNTANSI (transaksi)

contoh soal akuntansi buku besar pembantu